RIWAYAT NYATA... MENJADI SEORANG  PETANI..
 BACA DAN HAYATI..
Ayahku Petani Sejati
USTADZ CINTAPOSTING :FYAN wiwiet Hujan
Aku tidak merasa bahwa ayahku mempunyai sawah yang luas layaknya  juragan H. Patuh. Tapi tetap saja ayah memanen, dan tak jarang menjemur  hamparan padi di pelataran rumahku. Kata Ibu, ayah cuma bekerja sebagai  buruh tani, dan beras yang menghiasi pelataran rumah, pada setiap masa  panen itu, berasnya juragan H. Patuh. Ayahku akan mendapat seperempat  dari keseluruhan padi hasil panennya.
 
Di Perkampungan ini rata-rata warganya berpenghasilan dari sawah dan kebun. Mereka yang mempunyai banyak kebun, dan berhektar sawah bisa menanaminya dengan berbagai tanaman, seperti padi, tembakau, lombok, pohon pisang, sayur-sayuran, sengon, mahoni, dan yang masih banyak bertengger di kebun-kebun pohon sawo kecik dan pohon So, kalau orang sini mengatakannya dengan pohon melinjo. Warga yang tidak mempunyai tanah, akan menjadi buruh tani. Kalau menjadi buruh tani juga tidak bisa mencukupi, maka kebanyakan warga, khususnya anak-anak muda sudah mulai merantau untuk cari maisyah.
Di Perkampungan ini rata-rata warganya berpenghasilan dari sawah dan kebun. Mereka yang mempunyai banyak kebun, dan berhektar sawah bisa menanaminya dengan berbagai tanaman, seperti padi, tembakau, lombok, pohon pisang, sayur-sayuran, sengon, mahoni, dan yang masih banyak bertengger di kebun-kebun pohon sawo kecik dan pohon So, kalau orang sini mengatakannya dengan pohon melinjo. Warga yang tidak mempunyai tanah, akan menjadi buruh tani. Kalau menjadi buruh tani juga tidak bisa mencukupi, maka kebanyakan warga, khususnya anak-anak muda sudah mulai merantau untuk cari maisyah.
Perkampungan yang asri, anganku selalu mengatakan demikian. Iya…aku  yakin seyakin-yakinnya, hanya di kampung ini kesejatian keasrian  bersemayam. Anda tidak akan menemukan wajah muram saat anda bertemu  dengan warga kampong desa ini. Wajah warga selalu dihiasi senyum, walau  hati kadang saling mengingkari, dan saling menyuburkan penyakit hati.
Aku terus saja berkeliweran di antara padi yang dihamparkan di  halaman rumahku. Seperti biasanya, Pohon sawo besar yang berada tepat di  depan rumahku, setiap musim panen dijadikan markas burung emprit, dan  sebangsanya. Mereka mengintai kuningnya padi yang cocok buat menyambung  hidup anak cucu mereka. Saat matahari mulai menampakkan panasnya, Bapak  segera memberi komando kepadaku untuk menjemur dan menjaga padi-padi itu  supaya selamat dari sentuhan burung-burung pencari rizqi.
Ibuku tidak setuju dengan prinsip ayahku, agar aku selalu menjaga padi-padi itu. Ibu selalu membisikiku,
“jangan mau, toh burung-burung itu minta jatah padi hanya seberapa  biji tiap hari, burung tidak punya kulkas, apalagi almari untuk  menyimpan makanan, layaknya manusia. Dia makan hanya untuk hari ini.  Entah esok, entah lusa, tak pernah ia hiraukan.” Dengan suara lembut dan  agak ditahan agar tidak kelepasan. Agaknya ibu takut suaranya di dengar  ayah di ruang depan.
Seringkali Ibu tidak setuju dengan keputusan-keputusan ayahku.  Biasanya kalau tidak setuju, perlahan dia membisikiku, dan tak terasa  mendadak Ibu curhat tentang berbagai hal. Tentang pembagian hasil beras  yang tidak adil, tentang beberapa petani yang bekerja bersama ayah.  Membicarkan tentang nasib mereka yang selalu pas-pasan.
“Sekarang jelang ujian dan tahun ajaran baru, pasti mereka  membutuhkan banyak uang untuk keperluan pendidikan anak-anak mereka,”  desah Ibu dengan nafas panjang, seakan dia menanggung dan ikut merasakan  apa yang dialami para petani. Bagi ibu, petani-petani yang sejati itu  petani yang bekerja untuk beribadah kepada Allah. Mereka yang senyatanya  ikut membantu kaya para juragan, tetapi ketika masa-masa sekarang ini  jarang kebutuhan-kebutuhan mereka ditulungi juragan.
“biarlah itu burung-burung memakan padinya H. Patuh, biar nanti  ketika penimbangan amal kelak di akherat, beban amal sholihnya Haji  Patuh tambah,” demikian suara ibu selalu mengulang-ulang kalimat itu.  Entah kenapa Ibu selalu gregetan dengan Haji Patuh. Menurut Ibu,  walaupun Haji Patuh orang terkaya di desa ini tapi dia pelitnya masya  Allah gak ketulungan. Pernah ada petani yang ingin minta upahnya dulu  sebelum mereka mengerjakan sawah Juragan, karena kebutuhan pembiayaan  anaknya yang sakit, “coba bayangkan….dia tidak dikasih…” kata Ibu lagi.  Melihat nasib teman ayahnya seperti itu, Ibu bermaksud menolong dia  dengan meminjamkan beberapa uang simpanannya tetapi Bapakku memarahi  tanpa alasan. “agaknya ayahmu cemburu…” cerita Ibu menutup perbicangan  kita di dapur. Suara dehem ayah membuat Ibu tidak melanjutkan suara  hatinya yang masih banyak belum diungkapkan kepadaku.
Aku sekarang mulai berfikir, kenapa ya seringkali ibu takut kepada  Ayah dalam hal-hal tertentu. Padahal kalau saya pikir Ibu adalah istri  ayah, dan ayah suami Ibu, kenapa Ibu selalu takut mengatakan bahasa  hatinya tentang berbagai hal. Untuk apa sebenarnya mereka dulu  bertunangan dan menikah, kalau bukan untuk saling percaya, melindungi  dan menyayangi, tetapi nyatanya setelah mereka bersatu justru Ibu selalu  takut sama ayah. Ayah kadang marah-marah sama ibu dan anak-anaknya.  Apakah ini yang berarti keluarga yang tidak sakinah, mawadah, warahmah,  seperti dikatakan Pak Kiai itu. Atau sudah sewajarnya manusia berhak  memarahi dan marah, sebagai tirakat untuk hidup lebih hidup. Begitulah  yang mulai saya pikirkan, saat ibu mengakhiri ungkapan hatinya. Aku  terus berfikir tentang arti berkeluarga.
“Sesunggunya apa yang dituju setiap orang yang berkeluarga,” tanyaku  pada diri sendiri berulang-ulang dalam hati. Bagaimanapun aku sudah  mulai baligh. Usiaku sekarang sudah menginjak lima belasan tahun. Aku  mulai berfikir tentang urusan-urusan orang dewasa. Tentang keluarga,  tentang hubungan antar tetangga, tentang hubungan antar manusia.
“Disuruh jaga padi, kok malah ngalamun…” tiba-tiba sapaan ayah  membuyarkan lamunanku. “itu….burungnya pada jarah padi, zzzzuuuuuh,”  sambil melempar segenggam padi untuk membuyarkan burung-burung emprit.
Aku bangga punya Ayah petani. Wajahnya tirus, matanya cekung, tanda  dia suka rialat, kulitnya hitam legam bekas dibakar matahari. Urat-urat  mengelilingi sekitar tubuhnya, terutama yang kelihatan menojol pada  bagian-bagian lengan dan kaki. Sehari-hari ia tak beralas kaki, pun  walau sekedar sandal jepit. Sesekali aku tanya perihal itu, dia selalu  jawab: biar kita menyatu dengan tanah, karena kita berasal dari tanah,  akan dikembalikan ke tanah, maka harus selalu menyatu dengan tanah.
Khas layaknya petani tulen, selalu terselip sabit di samping  celananya, caping meneduhinya dari terpaan panasnya mentari. Sungguh  manusia sejati, yang rela membakarkan tubuhnya untuk sesuap nasi, dan  mengabdikan diri pada Ilahi. Segenap raga bergelut dengan Lumpur, sampai  hujan mengguyur, Ayah tetap memaknainya dengan rasa syukur, bahwa hujan  selalu membawa berkah yang akan menghidupkan tanah, sehingga  berkecambah tumbuhan-tumbuhan yang siap menjadi rahmat bagi manusia  sejagat.
“Bapak pergi ke sawah dulu ya Ji….”
“Iya….iya pak hati-hati….”
“jangan lupa, habis jaga padi, kolah diisi.”
Bergegas ayah berjalan enteng menuju persawahan. Hari-harinya  dihabiskan untuk mengurus sawah, apalagi pada masa panen seperti  sekarang ini. Bisa sampai larut sore Bapak di sawah. Biasanya barisan  orang-orang dari dataran tinggi turun untuk ikut membantu memanen  padi-padi yang sudah menguning.
Tapi mendadak aku jadi kepikiran kalau terus dipanggil Ji, oleh ayah.  Hanya ayah yang memanggilku Ji, ibu memanggilku tole, tapi biasanya  hanya dua huruf belakang yang disebut waktu memanggilku, “Leeeeee”. Aku  akan menyahutinya dengan suara kencang juga, “dalem Maaaaak,.”
Beda lagi dengan teman-temanku yang memanggilku dengan panggilan  Joyo. Maksudnya bukan laksana panggilannya mahapatih, seperti Joyoboyo.  Tetapi panggilan itu mulai aku sandang, saat saya dan teman-teman  jalan-jalan ke jalan besar di ujung utara kecamatan ini untuk sekedar  menghitung dan menyaksikan bis-bis yang berseliweran. Aku selalu  mengandalkan bis yang bernama Sinarjaya. Karena bis itu yang sering  diceritakan Pak Lekku. Maklum dia orang perantau yang sering naik bis.  Teman-teman jadi suka meledek, “mentang-mentang namanya ada Yo nya,  terus bis andalannya Sinar Joyo….” Ledek teman-temanku. Aku hanya  tersenyum dan balas meledek.
Mulai hari ini aku jadi tidak nyaman, saat tadi ayahku memanggilku  dengan julukan Ji. Nama ini lumayan prestise di kampong halaman ku.  Karena yang dipanggil Ji biasanya mereka yang sering pakai ketu kaji.  Dia sudah pernah menginjakkan kaki di tanah Makkah. Berziarah dan  menjalankan perintah agama yang merupakan bagian rukun Islam yang  kelima. Padahal Ji untuk namaku adalah petikan dua huruf dari nama  lengkapku Ngajiyo: yang berarti belajarlah. Dan terus belajar sampai  mati. Jadilah murid terus-menerus, toh walau engkau oleh masyarakat  dianggap guru. Karena murid berarti orang yang menghendaki ilmu.
“Kalau engkau menganggap dirimu selalu sebagai murid, maka diamanapun  tempat, kepada siapapun engkau tak akan malu untuk bertanya. Toh  dihadapan muridmupun, kamu tidak akan segan untuk bertanya, ojo isin  sabab tekaburan.” Itulah ungkapan guruku, waktu pengajian di masjid pada  pagi hari.
Ayah-Ibuku menamaiku dengan nama yang njawani Ngajiyo, dengan harapan  aku supaya selalu belajar dari buaian sampai ke liang lahat. Maka tak  heran saat aku menginjak usia yang ke 15 ini, selepas aku menyelesaikan  SMP nanti, rencana aku akan di godok di kawah condrodimuko pondok  pesantren di salah satu kota petani juga, kalau tak salah di Kabupaten  Pati.
Bapak, Ibuku menghendaki aku mondok, daripada sekolah, karena sudah  menjadi kacamata berfikir orang-orang di kampungku bahwa yang harus  diutamakan dalam hidup itu adalah agama, karena pengetahuan agama yang  akan menemani, dan nguyahi kita dalam menjalani hidup yang sebentar ini.  Seperti ungkapan orang-orang yang maklum dalam pendengaran kita:  “ilmu-ilmu umum tidak akan ditanyakan oleh malaikat munkar dan nangkir  di kubur,”
 
Aku tergolong sebagai anak penurut, dengan keinginan-keinginan orang tua. toh walaupun jiwaku selalu membrontak dengan keinginan-keinginannya. Sebenarnya aku lebih minat untuk menekuni dunia elektronik, karena semenjak SD kelas enam, aku suka mengotak-atik barang elektronik, ketimbang menjelehkan mata di depan buku-buku agama. Aku juga senang menggambar apa saja yang berada di depan mataku. Agama bagiku sudah cukup saya pelajari di mushola-mushola yang setiap hari tak kekuarangan pengajian, dari sorogan sampai bandongan. Di kampungku sendiri juga ada Pesantren, yang pengajian-pengajiannya bisa diikuti oleh orang-orang kampung.
Aku tergolong sebagai anak penurut, dengan keinginan-keinginan orang tua. toh walaupun jiwaku selalu membrontak dengan keinginan-keinginannya. Sebenarnya aku lebih minat untuk menekuni dunia elektronik, karena semenjak SD kelas enam, aku suka mengotak-atik barang elektronik, ketimbang menjelehkan mata di depan buku-buku agama. Aku juga senang menggambar apa saja yang berada di depan mataku. Agama bagiku sudah cukup saya pelajari di mushola-mushola yang setiap hari tak kekuarangan pengajian, dari sorogan sampai bandongan. Di kampungku sendiri juga ada Pesantren, yang pengajian-pengajiannya bisa diikuti oleh orang-orang kampung.
Tapi tetap saja ayah menghendaki aku mondok. Dan keinginan ayah sama  halnya keinginanku sendiri yang harus aku jalani. Aku terlalu sering  mengutarakan keinginanku, tetapi hanya dampratan yang kudapat, “kamu  pingin selamat dunia akherat tidak? Kalau ingin selamat, ikuti saja  kata-kata Bapak mu.” Sepertinya Bapak tahu jalan menuju keselamatan  dunia akherat. Aku hanya terdiam membisu, kalau bapak sudah mengudarakan  kata-katanya. Apalagi Ibu mendukung dengan ungkapan-ungkapan yang  menyentuh perasaan, “Iya nanti siapa Lee….yang bisa mendoakan Ibu, kalau  Ibu sudah sumare di kubur nanti, kalau kamu gak mau mondok.” Aku  tertunduk, dan semakin tertunduk, kalau ibu sudah menasehatiku. Memang  keinginanku harus ku pendam, cita-citaku harus ku ingkari sementara,  untuk menjalankan perintah kedua orang yang selalu ku sayangi ini.
Hari ini hari Rabu, aku mulai deg-degan. Sebentar lagi aku akan  meninggalkan kampungku beberapa tahun. Waktu yang tidak lama dan tidak  pendek. Kalau aku nanti di Pesantren bisa betah dan dapat menjalani  aktivitas dengan keikhlasan dan kegembiraan, maka waktu beberapa tahun,  laksana hanya beberapa bulan. Bisa menghabiskannya dengan tanpa beban.  Tapi seandainya semua yang ada di sana bertentangan dengan hatiku.  Mungkin hari-hariku di sana penuh dengan kelesuan, dan penantian yang  panjang. Hari-hari yang penuh siksaan batin. “ya….udah lumrah, pertama  mondok itu tidak langsung kerasan. Perlu berkenalan dan penyesuaian  dengan lingkungan sekitar.” Nasehat Pak De Jirin kepadaku. Tak lupa aku  minta doanya, dan minta selalu didoakan agar bisa memperoleh ilmu yang  bermanfaat dunia akherat. Sebelum aku berpamitan ia tiba-tiba saja  merogoh sak jasnya yang kelihatan lusuh. Beliau mengeluarkan beberapa  lembaran uang, “ini untuk beli permen,” katanya kepadaku. Aku hanya  tersipu…dan aku bilang, “matur nuwun Pak De,”
 Dilman sudah menunggu di depan rumah, agaknya sudah disewa Bapak  untuk mengantarkan aku ke jalan gede. Tas kopor Bapak satu-satunya  kulihat terselip diantara jok dilman. Bapak tidak seperti biasanya  memegang sabit dan berselandok sarung, sekarang sudah necis, celana  pantaloon membungkus kakinya yang biasanya telanjang. Ayah sekarang  memakai alas kaki, seumur-umur aku baru menyaksikan Bapak berbeda sama  sekali dengan hari-hari biasanya. Ibu hanya tersenyum-senyum melihat  ayat terlihat rapih. Bajunya kelihatan pinggirannya lancip, tanda baju  itu telah disetrika walau pecinya tampak menguning layaknya padi-padi  yang biasa ia panen. Terpaan sinar matahari memperjelas warna tembaga  peci yang tadinya hitam. Entah sudah berapa tahun peci itu tidak diganti




1 komentar:
baca dan bacalah pengalaman hidup salah satu petani sejati... renungkanlah... apakah anda bnar2 seorang calon petani sejati??
Posting Komentar