SUARA ANAK PERTANIAN


ShoutMix chat widget

Sabtu, 28 Agustus 2010

Pertanian Organik Hari Ini

 
Linkers, rasanya cukup lama saya tidak menulis tentang pertanian. Menulis tentang pertanian ini susah-susah gampang, gampangnya karena pertanian adalah sektor riil yang setiap kita menoleh selalu ada produknya. Susahnya, ya karena menulis tentang pertanian sifatnya eksploratif saja. Lontaran-lontaran solusi (yang sifatnya solutif) seakan pupus dan menyublim begitu berhadapan dengan tembok kokoh bernama “kebijakan” dan tendensi politik.. Senyampang dari itu, tulisan ini sifatnya menyegarkan ingatan saja, hampir tidak ada hal baru yang dimunculkan disini. Tulisan ini berangkat dari pesatnya perkembangan pertanian organik di Indonesia dewasa ini sebagai salah satu pertanda positif bahwa pertanian organik mulai mendapat respon positif masyarakat, baik produsen maupun konsumen. Namun di lain sisi, kendala pengembangan pertanian organik di Indonesia juga masih besar, bahkan mungkin porsinya lebih besar dibandingkan laju perkembangannya.
Perkembangan pertanian organik di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan pertanian organik dunia, bahkan dapat dikatakan sebagaitrigger factor bagi gerakan pertanian organik lokal. Ini adalah karena tingginya permintaan produk organik di negara-negara maju. Saya ingat betul artikel Prof. Ulrich Hamm dan Johannees Michelsen, PhD, yang judulnya “Analysis of The Organic Food Market in Europe”, atikel ini pemberian salah satu dosen Biologi Tanah saya, tahun 2000-an, yang menyebutkan tingginya permintaan produk organik di negara-negara maju antara lain dipicu oleh 7 (tujuh) faktor sebagai berikut :
1. Menguatnya kesadaran lingkungan dan gaya hidup alami dari masyarakat,
2. dukungan pasar konvensional (supermarket menyerap 50% produk pertanian organik),
3. dukungan industri pengolahan pangan,
4. dukungan kebijakan pemerintah nasional,
5. adanya label generik,
6. adanya harga premium di tingkat konsumen,
7. adanya kampanye nasional pertanian organik secara gencar.
Usaha tersebut masih belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Sebagai ilustrasi, pertumbuhan permintaan pertanian organik dunia mencapai 15-20% pertahun dengan pangsa pasar mencapai sekitar US$ 100 juta Namun pangsa pasar yang mampu dipenuhi hanya berkisar antara 0,5-2% dari keseluruhan produk pertanian. Meski di Eropa penambahan luas areal pertanian organik terus meningkat dari rata-rata dibawah 1% (dari total lahan pertanian) tahun 1987, menjadi 2-7% di tahun 1997 (tertinggi di Austria mencapai 10,12%), namun tetap saja belum mampu memenuhi pesatnya permintaan (Jolly, 2000). Inilah kemudian yang memacu permintaan produk pertanian organik dari negara-negara berkembang. Selain itu, perkembangan pertanian organik di Indonesia juga di-triger oleh munculnya keadaran akan pentingnya mengkonsumsi produk-produk sehat dan ramah lingkungan.
Pertanian organik, Malthusianisme dan Reduksionisme
Terus terang saya melihat masih banyak kekurangan, hambatan, dan kendala dalam pengembangan pertanian organik. Secara faktual pelaku pertanian organik masih sangat sedikit di seluruh dunia, yakni kurang dari 2 % terhadap seluruh pelaku pertanian yang ada. Dengan kata lain, pertanian organik masih merupakan kegiatan marjinal. Jika ditilik lebih jauh, kendala-kendala tersebut antara lain berakar dari kesangsian mengenai kemampuan pertanian organik dalam memecahkan persoalan pemenuhan pangan dan keberlanjutan kehidupan. Setidaknya ada 3 (tiga) argumen yang melandasinya, Pertama adalah anggapan bahwa produktivitas pertanian organik rendah sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan yang terus meningkat. Kedua, pertanian organik dianggap sebagai pertanian masa lalu yang tidak produktif dan di tingkat tertentu anti teknologi. Ketiga, pertanian organik tidak layak secara ekonomis dan karenanya tidak menguntungkan. Mari kita bahas satu persatu.
Rendahnya Produktivitas Untuk Mencukupi Kebutuhan Pangan
Kesangsian pertanian organik tidak mampu menyelesaikan persoalan kebutuhan pangan sudah menjadi perdebatan lama. Secara teknis “mereka” menganggap pertanian organik tidak mampu memberikan produktivitas hasil yang tinggi, sehingga tidak bisa menjamin ketersediaan pangan yang cukup bagi manusia.
Jika dilihat lebih dalam, pemikiran ini beranjak dari ‘kekuatiran Malthusian’ yang menganggap bahwa pertambahan manusia lebih cepat daripada laju pangan. Kekuatiran inilah yang mendasari pencarian teknologi yang mampu melipatgandakan hasil pangan dan pertanian. Namun dilematis sekali ketika teknologi yang diperoleh adalah teknologi yang menjadikan produktivitas sebagai tujuan utama pertanian, dengan mangabaikan tujuan lain. Hal ini nampak jelas, dalam program revolusi hijau, dimana selain hasil yang tinggi, faktor lingkungan, kenekaragaman (diversity) hayati, konservasi, keselamatan, dan juga sustainability diabaikan.
Reduksionisme berakar dari pemikiran Rane Descartes, filsuf Perancis, yang menemukan pendasaran matematika atas logika, yang kemudian cenderung memandang segala sesuatu secara linier dan terpilah-pilah. Fritjof Capra, dalam The Turning Point-nya, menyebut reduksionisme sebagai biang kerusakan dunia, yang gemar memilah-milah persoalan dalam bagian-bagian kecil. Inilah yang melahirkan rasionalisme (buta) yang melihat segala sesuatu secara material-fisik saja. Ironisnya, paradigma inilah yang menjadi mainstream ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini. Dalam konteks pertanian, reduksionisme ini terlihat dalam Revolusi Hijau. Para pemikir revolusi hijau, hanya memandang produktivitas sebagai tujuan tunggal, maka apa yang dikatakan sebagai ‘hama’, ‘gulma’ dan tanaman lain selain tanaman utama sah saja dimusnahkan (dianggap musuh) bila dianggap mengganggu pencapaian hasil tanaman utama. Begitu juga dalam pemakaian input, yang hanya membatasi pada pemakaian unsur N, P, K sebagai makanan utama tanaman. Akibat paradigma yang eksploitatif ini, adalah kerusakan lingkungan, merosotnya keanekaragaman hayati lokal, pencemaran lingkungan, air dan udara, serta ketergantungan secara sistematis petani terhadap ‘pihak luar’.
Pemujaan produktivitas yang berlebihan dengan meletakkan benih unggul, pupuk, dan pestisida sebagai determinan kunci pada gilirannya melupakan
bahwa persoalan pangan bukan semata soal produktivitas, tetapi juga soal manajemen institusi menyangkut distribusi, pengairan, inovasi teknologi lain, dan lain sebagainya. Amartya Sen, ekonom India penerima nobel, dalam satu stusi kasusnya di tahun 1980-an menemukan satu daerah di India mengalami kelaparan hebat, tetapi di daerah lain berkelimpahan pangan. Terbukti kelaparan, menurutnya, bukan soal sekedar kelangkaan pangan (karena teknologi rendah), tetapi juga soal kepemilikan dan akses terhadapnya.
Belum lagi tentang inefisiensi pengelolaan irigasi Indonesia. Efektivitas pengairan di Indonesia hanya sekitar 15% pada musim hujan, dan 4% pada musim kemarau. Sementara di India, baik musim hujan dan kemarau efektivitasnya mencapai 40%. Dengan pengairan tersebut, produksi jagung di India mencapai 10 ton/ha, sedang ubi kayu mencapai 60 ton/ha. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya 4 ton/ha untuk jagung dan 15 ton/ha untuk ubi kayu. Jelas, perbaikan manejemen irigasi mampu meningkatkan produktivitas tanpa harus mengubah perlakuan pemupukan.
Penemuan system rice of intensification (SRI) oleh Henri de Lauline, seorang Jesuit di Madagaskar, ternyata mampu meningkatkan produktivitas tanaman padi hingga mencapai 8 ton/ha, bahkan diantaranya ada yang mampu mencapai 10-15 ton/ha. SRI tidak mensyaratkan benih unggul atau pemupukan intensif, tetapi lebih menekankan pada perlakuan transplantasi bibit, jarak tanam, dan waktu pengairan yang tepat berdasarkan pengamatan terhadap perilaku dan kehidupan tanaman padi (ECHO, 2001). Artinya, inovasi teknologi seperti ini mampu mengatasi pesimisme Malthusian.
Pertanian Organik Anti Teknologi?
Argumen bahwa pertanian organik adalah pertanian masa lalu, yang tradisional, subsisten dan tidak produktif, berakar dari cara pandang modernisme. Tuduhan yang muncul kemudian adalah bahwa kearifan tradisional adalah anti teknologi (modern), sehingga menghambat kemajuan.
Bahwa dalam praktek pertanian tradisional (baca : pertanian organik) ada faktor inefisiensi adalah hal yang wajar. Tetapi, mengabaikan faktor kearifan lokal, budaya dan tujuan non produktivitas adalah juga tidak bijak. Pertanian organik tidak anti teknologi. Pertanian organik juga bukan pertanian jaman baheuladan mau mundur kembali ke tradisi kuno. Pertanian organik adalah pertanian yang berangkat dari paradigma holistik dalam memandang alam semesta. Dalam cara pandang ini manusia menjadi bagian dari alam dan tujuan terbesar dari praksis pertanian adalah untuk keberlanjutan alam semesta. Pemenuhan pangan adalah bagian intrinsik dalam keberlanjutan alam semesta itu sendiri. Dalam kerangka ini, pengembangan teknologi haruslah mengindahkan segala aspek kehidupan dalam keseimbangan dan keberlanjutan alam semesta. Tradisi lama atau kearifan lokal dirujuk dalam pertanian organik, lebih karena sumbangannya dalam paradigma holistik yang menghargai keselarasan alam, dibandingkan karena teknologinya. Pandangan ini kontras dengan penganut antroposentrisme, yang meletakkan manusia sebagai sentral kehidupan,dan seolah manusia adalah ciptaan tertinggi yang punya kuasa menentukan hidup matinya alam semesta dan kehidupan.
Pertanian organik tidak menguntungkan?
Memang pada tahap awal dan dalam jangka pendek, pertanian organik akan memberikan hasil kurang optimal dibanding budidaya konvensional. Faktornya, adalah karena kerusakan ekosistim dan agro-chemis tanah yang mesti diperbaiki dalam bentuk organik. Maka jika dikombinasikan
pemakaian pupuk organik, pengendalaian organisme pengganggu tanaman secara baik, dengan inovasi teknologi yang tepat akan mampu memberikan hasil yang relatif sama, dengan jaminan akan kualitas tanah dan ekosistem lokal yang lebih baik. Sebenarnya, argumentasi ekonomis bersumber ukuran-ukuran yang sifatnya dapat dikuantifikasi, yang bersifat logis dan material. Laba menjadi determinan sangat pokok. Dalam konteks ini sejatinya para pengusaha tidak (harus) peduli bahwa usahanya ramah lingkungan atau tidak, karena yang penting baginya adalah untung. Jadi, seandainya dalam hitung-hitunganekonomis pertanian organik memang menjanjikan keuntungan, maka pengusaha tak
akan ragu-ragu masuk kedalamnya.
Ketika demand meningkat maka profit akan mengikutinya, sehingga pengusaha akan berlomba memenuhinya. Kelangkaan barang dalam ilmu ekonomi akan diikuti dengan kenaikan harga. Produk pertanian organik menjadi produk eksotis yang dicari. Inilah daya tarik dunia pertanian saat ini. Jelas, apabila dapat memenuhi kriteria dan standar produk organik, maka otomtis profit akan diperoleh. Jadi, keraguan bahwa pertanian organik tidak menguntungkan secara teknis kini, dapat diretas dengan adanya premium price di tingkat konsumen, utamanya di negara-negara maju. Saya terkesan dengan mulai bermunculannya pengusaha pertanian organik skala besar di Indonesia, seperti Maporina, Forest Trade (Amrik) di Sumatra, dan Maharishi Global Trading (Belanda) di Sulawesi. Sebenarnya, disini juga membuktikan bahwa pertanian organik tidak semata soal teknologi bukan? .
Kekuatan Bisnis Menjadi Ancaman
Meskipun mereka (dalam tanda kutip)-yang masih sangsi akan pertanian organik, tapi secara nyata pertanian ini mulai bermunculan. Pemicu utamanya adalah keuntungan ekonomis. Bisnis pertanian ini makin banyak dilirik pihak swasta karena menyimpan keuntungan besar (pangsa pasar yang cukup besar). Di sini bisnis pertanian organik sama saja dengan bisnis lainnya. Yang dicari tetap keuntungan Soal lingkungan menjadi sehat adalah ‘bonus’ alias unintended consequences. Memang dalam hal ini ‘bonus’nya bernilai lebih, karena tidak saja menyerap lapangan kerja baru tapi juga merehabilitasi lingkungan. Dengan demikian bisnis pertanian organik memberikan kredit poin tersendiri. Apakah dengan demikian bisnis ini tidak perlu dicermati?
Satu hal yang menurut saya perlu diwaspadai, adalah sudah menjadi salah satu watak bisnis bahwa kapitalistis adalah mencari profit yang sebesar mungkin.
Sehingga jika ada peluang segala cara akan menjadi sah/benar. Kecenderungan ini tampak pada pemilik-pemilik modal besar yang secara perlahan mulai menggusur atau mencaplok usaha-usaha kecil. Di California awalnya pertanian organik diusahakan oleh petani dalam skala kecil dan dijual ke pedagang dan retail kecil independen. Namun sekarang, Wild Oats, perusahaan ritel besar yang dengan perlahan mulai mengambil alih peran pedagang kecil, maka kini ritel tersebut telah memiliki tak kurang dari 105 supermarket produk organik di seluruh California (Jolly, 2000). Para pedagang kecil jika mau bertahan harus bergabung ke Wild Oats. Tak terasa telah terjadi marjinalisasi industri kecil produk organik oleh konglomerat besar. Pada gilirannya, kejadian ini tidak saja menyebabkan struktur pasar yang tidak bersaing sempurna (kompetitif) tetapi juga memperlebar jurang distribusi pendapatan kesejahteraan.
Tampaknya tidak ada yang aneh dengan pola diatas. Disini awalnya petani cukup diuntungkan, lingkungan juga menjadi sehat. Tetapi, akan petani selamanya diuntungkan? Ketika suatu perusahaan mengelola sarana produksi, mengkoordinir budidaya dan memasarkan hasil (menguasai hulu sampai hilir) pasti memiliki kekuatan yang dominan dalam pengambilan keputusan. Petani kemudian hanya menjadi pelaksana teknis dari agribisnis perusahaan tersebut dan kembali masuk ke pola PIR-nya perkebunan. Petani menjadi tergantung, karena input dan pasarnya telah dijamin. Tanpa sadar, petani akan menjadi buruh di lahannya sendiri. Mungkin kesejahteraan petani lebih baik, tetapi situasi ini tidak merubah kondisi petani dari ketergantungan terhadap pihak luar. Sekali lagi, demokrasi ekonomi menjadi utopia dalam kenyataan ini. Kondisi diatas menyiratkan kekuatiran bahwa pertanian organik kedepan (mungkin) hanya akan menyelesaikan persoalan ekologi, tetapi tidak membebaskan petani. Situasinya menjadi tidak berbeda dengan era revolusi hijau, yang membedakan dulu tergantung pada perusahaan input kimia, sekarang pada perusahaan input organik.
Bacaan
ECHO Development Note, Issue 70, Januari 2001.
Jolly D., 2000. From cottage industry to conglomerates: the transformation of the US organic food industry, 2000

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More